Sekilas Tentang Bantuan Hukum Struktural

Foto Jumaldi
Foto Jumaldi
Konsep Bantuan Hukum Struktural (BHS) pertama kali diperkenalkan oleh Adnan Buyung Nasution sekaligus sebagai penggagas BHS di Indonesia, hingga saat ini banyak dijadikan acuan bagi para pekerja hukum (people lawyers) utamanya mereka yang bekerja pada kantor-kantor Lembaga Bantuan Hukum. Konsep BHS lahir sebagai konsekwensi dari realitas pelaksanaan bantuan hukum terdahulu yang mengalami pergeseran dari yang sifatnya individu menjadi struktural, sebelumnya ada konsep bantuan hukum konvensional dan konsep bantuan hukum konstitusional serta Konsep bantuan hukum struktural. Konsep bantuan hukum konvensional adalah pelayanan hukum yang diberikan kepada masyarakat miskin secara individual. Sifat bantuan hukum tradisional ini sangat pasif dan pendekatannya sangat formal legalistik. Pasif dalam artian menunggu masyarakat yang mengadukan permasalahnnya, Konsep ini hanya melihat segala permasalahan hukum dari kaum miskin semata-mata dari sudut pandang hukum yang berlaku.

Konsep bantuan hukum konvensional dianggap tidak releven lagi bagi banyak kalangan, maka lahirlah konsep bantuan hukum konstitusional. Konsep Bantuan Hukum Konstitusional, Adalah bantuan hukum untuk rakyat miskin yang dilakukan dalam rangka usaha-usaha dan tujuan yang lebih luas seperti: menyadarkan hak-hak masyarakat miskin sebagai subjek hukum, penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sendi utama bagi tegaknya negara hukum. sifat dan jenis dari bantuan hukum ini adalah lebih aktif artinya bantuan hukum ini diberikan terhadap kelompok-kelompok masyarakat secara kolektif.

Konsep bantuan hukum ini dianggap lebih progresif dibandingkan konsep bantuan hukum sebelumnya. Ini terlihat dari konsep bantuan konstitusional yang tidak hanya ditujukan kepada individu, akan tetapi juga ditujukan kepada anggota masyarkat secara kolektif. Dalam melakukan pembelaan terhadap klien, advokat tidak hanya menggunakan jalur litigasi saja, juga menggunakan pendekatan mediasi dan jalur politik.

Dalam perkembangannya, konsep bantuan hukum konstitusional belum menembus permasalahan dasar yang dihadapi masyarakat miskin di Indonesia, karena masih terdapat ketimpangan struktur ekonomi, sosial, dan politik yang menimbulkan permasalahan hak asasi manusia. hal ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan pemerintah yang cendrung tidak memihak kepada masyarakat miskin serta masyarakat masih sulit memperoleh akses untuk berpartisipasi dalam setiap kebijakan pemerintah.

Konsep Bantuan hukum struktural lahir sebagai respon terhadap masalah kemiskinan masyarakat karena adanya ketidakadilan, terdapat struktur yang timpang, serta norma yang tidak berpihak pada simiskin. Dengan demikian aktivitas bantuan hukum merupakan rangkaian program melalui jalur hukum dan non-hukum yang diarahkan bagi perubahan pada hubungan yang menjadi dasar kehidupan social menuju pola hubungan yang lebih sejajar. Dalam pembelaan masyarakat, konsep bantuan hukum struktural tidak hanya ditujukan terhadap kasus-kasus individual, akan tetapi juga diprioritaskan terhadap kasus-kasus kolektif. Secara ringkas, upaya yang dilakukan bagi pekerja hukum dengan metode bantuan hukum struktural, tidak hanya melakukan pendampingan hukum pada masyarakat miskin, tetapi juga mendidik masyarakat untuk mengubah sistem hukum yang selama ini dianggap memberikan ketidakadilan.

Bantuan hukum tidak hanya dipahami sebagai bagian perbuatan amal semata, tetapi menjadi hak yang harus didapatkan masyarakat selaku warga negara, terutama rakyat kecil. Hingga saat ini konsep BHS sudah menjadi gerakan sosial utamanya bagi mereka yang bekerja di kantor LBH. Demikian halnya LBHP Tolitoli dalam melakukan pendampingan hukum dimasyarakat menerapkan konsep BHS.

Sebagaimana tertuang dalam manifesto LBHP Tolitoli, serta menjadikan sebagai visi organisasi yang diletakkan pada cita-cita pendiriannya yaitu pembaruan hukum sebagaimana pemikiran Satjipto Raharjo dan konsep BHS.

Hal ini dapat dilihat dari kerja-kerja LBHP Tolitoli, sekaligus menjadi pembeda dengan kerja-kerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) walau ada kemiripan pola dan metodenya. Pendampingan masyarakat yang dilakukan oleh LBHP Tolitoli, Misalnya, dalam pemberian bantuan hukum bagi seorang tersangka yang disiksa oknum polisi agar mau mengakui kesalahannya saat diinterogasi. Jika ditelaah lebih dalam, perlakuan itu hanya dilakukan bagi masyarakat miskin yang tidak mengerti soal proses hukum.

Contoh lain, puluhan masyarakat Desa Kamalu yang tanahnya telah diserobot oleh perusahaan sawit, akibatnya masyarakat kehilangan hak atas tanahnya. Meski sudah dikuasai puluhan tahun yang pada waktu masih dalam kondisi hutan belantara.

Setelah diadvokasi oleh LBHP Tolitoli, ternyata problemnya, lahan tersebut didapatkan oleh perusahaan sawit berdasarkan jual beli dari masyarakat yang bukan sebagai pemilik. Hanya karena yang bersangkutan mengakui serta memperlihatkan bukti kepemilikan berupa SKPT, kemudian perusahaan mengecek kondisi lapangan apakah SKPT yang diajukan si penjual sesuai dengan luasan tanah maka dilakukanlah transaksi.

Namanya perusahaan milik kapitalis, orientasinya pasti cari untung, tanpa mau peduli bahwa SKPT tersebut terbit diatas lahan milik orang lain yang juga memiliki dokumen pengolahan. Makanya LBHP Tolitoli mengadvokasi masyarakat supaya hak masyarakat dikembalikan.

Disinilah dapat kita nilai bahwa BHS erat kaitannya dengan istilah kemiskinan struktural dalam artian memang sengaja orang dibuat atau dilegalkan untuk menjadi miskin baik secara ekonomi, maupun akses untuk berpartisipasi dalam setiap kebijakan pemerintah.

Hal itu didasarkan pada keterpihakan sistem hukum sudah tereduksi, dari keberpihakan kepada orang yang lemah, menjadi lebih berpihak pada penguasa atau oligarki. Misalnya banyak diantara produk perundang-undangan yang dilahirkan cendrung melindungi atau seakan-akan untuk melegalkan kepentingan penguasa dan pemilik modal. ***

By Jumaldi
*Penulis adalah Advokat di Kantor LBHP Tolitoli

Posting Komentar

0 Komentar