Fato Irfan |
Sebaliknya, adapula yang beranggapan bahwa tayangan persidangan kasus
kopi sianida adalah sebuah pembodohan karena, masyarakat Indonesia
dibuat lupa akan issu-issu perpolitikan tanah air.
Salah satu issu yang
tenggelam oleh kasus kopi sianida adalah perombakan kabinet jilid 2.
Survei pun dilakukan demi mendukung anggapan yang demikian. Sebuah
tulisan dikutip dari muslimsays.com.dengan judul 'Kasus Kopi Sianida dan Pembodohan Masyarakat', disana dituliskan,“Sebuah survei yang digagas
oleh Indikator Politik Indonesia secara atap muka terhadap 1220
responden di berbagai kota di Indonesia, menemukanfakta yang miris. 53%
responden mengaku tak tahu menahu jika ada perombakan kabinet (lihat
Tribunnews Senin, 15 Agustus 2016: Rating Persidangan Jessica Wongso
Lebih Tinggi Ketimbang Perombakan Kabinet).
Saya tidak bermaksud memperpanjang bahasan tentang pro dan kontra
tayangan persidangan kopi sianida tersebut, karena memang fokus tulisan
ini bukan disitu. Sisi lain dari persidangan kasus kopi sianida yang
ingin Saya kemukakan adalah, tentang keteranganahli hukum pidana yang
diberikan dalam persidangan dikaitkan dengan asas ius curia novit.
Dalam persidangan kali ke sekian kalinya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan
seorang akademisi dari UGM, Prof. Eddy O.S. Hiariej. Profesor muda ini
diajukan oleh JPU untuk memberikan keterangannya selaku ahli hukum
pidana. Karena yang mengajukan adalah JPU, tentu posisi ahli ini untuk
menguatkan dakwaan JPU dalam rangka membuktikan kesalahan terdakwa.
Dalam keterangannya di persidangan, ahli memaparkan berbagai teorihukum
pidana berkenaan dengan kasus yang disidangkan, sehinggapeserta sidang
tak terkecuali majelis hakim kelihatannya banyak menyerap pengetahuan
hukum dari sang ahli hukum pidana ini.Tetapi disinilah letak masalahnya.
Mendengarkan keterangan ahli hukum pidana dalam persidangan pidana,
sebenarnya bertentangan dengan asas ius curia novit.Apakah asas ius
curia novit? Prof. Achmad Ali dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pembuktian
Perdata (hal. 63) menyebutkan ini adalah asas yang memfiksikan bahwa
setiap hakim itu harus dianggap tahu akan hukumnya perkara yang
diperiksanya. Menurut AJ Day, dalam persidangan berlaku adagium ius
curia novit dimana hakim dianggap tahu hukum sehingga dalam
perkara-perkara pidana seharusnya majelis hakim tidak perlu mendengarkan
keterangan ahli hukum pidana.
Memang Keterangan Ahli berlaku sebagai salah satu alat bukti sebagaimana
diatur dalam Pasal 184 KUHAP. KUHAP pun telah memberikan definisi yang
jelas dalam Pasal 1angka 28, bahwa keterangan ahli adalah keterangan
yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan.Keterangan ahli yang dimaksud dalam ketentuan
tersebut, misalnya ahli kedokteran kehakiman, ahli balistik, ahli kimia,
ahli fisika, ahli farmasi, ahli toxin. (Lihat Indonesia Corruption
Watch, Hasil Eksaminasi Publik Putusan Pengadilan Negeri Jayapura Dalam
Perkara Korupsi dan Pencucian Uang, 2009, hal. 30).
Pada kenyataannya hakim dalam melihat suatu perkara sudah barang tentu
tidak hanya merujuk pada perangkat peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan perkara. Tetapi juga menjadikan pendapat para ahli hukum sebagai
referensi. Entah itu melaluiperkuliahan, atau membaca buku. Tetapi jika
ahli hukumnya dihadirkan lalu didengarkan keterangannya di persidangan,
dan lalu keterangannya dijadikan sebagai pertimbangan dalam putusan
hakim, ini yang jadi masalah. Sebab, asas ius curia novit adalah asas
persidangan yang mesti dipatuhi oleh hakim.
0 Komentar