Foto Usman Hasan |
"Tolong pak bicara dulu di media, mau jadi apa negara ini, sudah mobil rental susah penumpang, ketat alan terus .”
“Bapak dimana. ?
“Saya di perjalanan menuju Palu. Ada pungutan Rp 5000, kalau ada beberapa poss yang sopir harus mengeluarkan uang, kapan rakyat meningkat, kasian kan ?
“Oh ia, nanti masuk Palu ada lagi pungutan. Saya pernah diberitahu sopir, pungutan siang pakai karcis. Kalau malam ndak pakai karcis. Masih menurut sopir, yang memungut pada malam hari dijatah, harus sekian hasilnya, kalau ada kelebihan bagian si penagih."
“Waduh, parah itu bos, kayak perusahaan nenek moyangnya saja. Nanti saya mau telpon pejabat yang ngurusin pingutan itu. Ini semua yang ndak benar."
Itu diatas dialog dengan sahabat saya.
Yang menarik, seorang pejabat yang tidak mengeluarkan uang pungli justru merasa resah, turut merasakan masalah sopir. Apalagi sopir, pasti mereka resah. Mungkin tidak ada daya apa-apa. Mau protes, kemana ?. Ketimbang bikin pusing, masih lebih baik ikuti saja apa maunya. Toh sudah hal biasa dalam negara yang namanya Indonesia, banyak pungutan ini dan itu. Mengurus surat di kecamatan harus mengeluarkan uang yang tidak dilandasi aturan.
Saya ingin menceritakan soal pungutan di Kecamatan. Ketika itu saya mengurus kelengkapan adminstrasi sebuah partai politik (menjelang Pemilu 2009). Menurut pegawai bagian admistrasi, bayarannya Rp 250,000. Saya berpikir, hebat juga, tanda tangan seorang camat berharga Rp 250. 000. Masalah itu saya sampaikan kepada seorang wartawan dan dia angkat di medianya. Lucunya, loper yang tidak tahu urusan berita dimarahi pak Camat. Pada saat saya mengurus kelengkapan adminisstrasi untuk kali berikutnya, pegawai di kecamatan mengarahkan saya bertemu langsung pak Camat. Setelah pak Camat memeriksa berkas-berkas yang saya sodorkan , beliau berkata : oh ia sudah ini partai yang dulu angkat berita pungli. Kalau saya ketemu orang yang angkat berita itu, ndak tahu lagi apa yang akan lakukan terhadapnya.
“Bukan saya yang angkat berita itu pak, tapi wartawan .Namanya saja wartawan pak, kalau ada berita yang dia pikir menarik untuk diangkat, ya dia angkat. Ndak ada hubungan dengan saya, pak". Saya membela diri
“Sudah, sekarang saya tanda tangan dan dan ndak pakai bayar satus sen pun". Pak Camat tanda tangan sambil marah-marah. Saya pikIr, biar saja marah-marah, yang panting tidak memukul dan lebih penting dia bubuhkan tanda tangannya.
Era tahun 80-an pernah dibentuk Opstib (operasi tertib). Yang memimpin Opstib adalah Laksamana Sudomo. Waktu itu Pungli sudah sangat merajalela. Gebrakan Sudomo lumayan berhasil. Ada kejutan sehingga Pungli mereda. Kemudian marak lagi dan itu berlanjut terus sampaiera sekarang ini.
Saya mau menyarankan agar dibentuk lembaga yang khusus menangani urusan pungutan liar.
Mungkin boleh meniru Opstib gaya Sudomo. Dipimpin oleh Militer. Mungkin akan ada protes lagi, soal payung hukumnya, karena militer kan ndak boleh mengurusi masalah yang menjadi bidang dari aparat sipil. Biar saja, ketimbang banyak instansi, banyak aparat dalam bidang pengawasan namun nyatanya Pungli terjadi dimana-mana, mengapa kita tidak meniru sesuatu yang tujuannya baik demi kemaslahatan orang banyak. Yang penting tujuan berhasil.
Oleh Usman Hasan
0 Komentar