Catatan Seminar Sehari "Peran Pemerintah Dalam Mengantisipasi Ilegal Mining"

Pemateri seminar

Secara geografis Kabupaten Tolitoli berada dititik pertemuan tiga lempeng bumi, dimana secara spesifik terletak di daerah tumbukan neogen antara lempeng benua euoresia dan mikrokontinen dari lempeng Australia. Dengan keadaan bumi Tolitoli yang semacam ini, mengindikasikan terjadinya mineralisasi. Artinya, bumi Tolitoli kaya akan sumber daya mineral. Sumber daya mineral dimaksud mulai yang harganya relative murah seperti misalnya batu, pasir, kerikil, hingga yang harganya mahal seperti emas, aluminium, tembaga, besi, timah, silica, dan molybdenum. Hal itu disampaikan kepala dinas Perindustrian, Energi Dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Tolitoli, Budi Kathiandago, mengawali materinya dalam seminar pertambangan yang dilaksanakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Progresif Tolitoli di Aula Manggala beberapa waktu lalu.Tema yang dibicarakan tentang kebijakan pemerintah daerah dalam mengantisipasi pertambangan emas illegal di Kabupaten Tolitoli.

Para peserta seminar yang hadir menyayangkan betapa daerah yang kaya akansumber daya mineralnya khususnya emas, ternyata kurang begitu dimaksimalkan bagi membangun kesejahteraan rakyat.Selain itu,lemahnyaperan Pemerintah Daerah Kabupaten Tolitoli (Pemda) serta aparat penegak hukum dalam menindak pelaku penambangan emas tanpa izin yang terjadi di desa Janja Kecamatan Lampasio dan desa Dadakitan Kecamatan Baolan. Padahal dalam pasal 158 Undang-undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan, menyatakan bahwa setiap orang yg melakukan usaha penambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 10 milyar rupiah. Sebagaimana diketahui perusahaan yang melakukan penambangan tanpa izin tersebut adalah PT. Jakarta Cosmos yang melakukan aktifitasnya di desa Dadakitan Kecamatan Baolan, sementara di desa Janja Kecamatan Lampasio ada PT. Xiu Lin Fu. IPDA Amiruddin, Kaur Bin Ops Intel Polres Tolitoli yang juga hadir sebagainarasumber tidak banyak menanggapi keluhan peserta seminar soal perusahaan yang melakukan penambangan tanpa izin. Menurutnya, kebijakan maupun keputusanuntuk melakukan penindakan terkait persoalan tersebut,tetap berada ditangan pimpinan dalam hal ini Kapolres Tolitoli.

Hal senada dikemukakan Budi Kathiandago dalam hal penindakan terhadap perusahaan yang melakukan penambangan tanpa izin. Pemda dalam hal ini Dinas Perindustrian, Energi Dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Tolitoli memiliki keterbatasan kewenangan dalam melakukan penindakan.Telah berulangkali surat teguran dilayangkan kepada perusahaan tersebut, namun tidak pernah diindahkan. Menurutnya, terbatasnya kewenangan tersebut disebabkan Pemda belum memiliki inspektur tambang.

Selanjutnya pembahasan dalam seminar yang dihadiri puluhan pesertadari berbagai unsur tersebut,tidak terbatas menyoal penambangan atau yang legal, tetapi berlanjut membicarakan tentang apakah pertambangan emas oleh perusahaan-perusahaan asing bisa membawa dampak positif bagi negara, khususnya bagi daerah. Hikma Ma’ruf Asli, ketua Asosiasi Masyarakat Penambang Emas Rakyat Tolitoli, sebagai salah satu narasumber menyampaikan bahwa alih-alih membawa kesejahteraan, terkadang pertambangan dapat berubah menjadi sebuah kutukan. Ia mencontohkan beberapa daerah di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, namun berbanding terbalik dengan kondisi masyarakatnya. Antrian minyak tanah masih sering dijumpai di Aceh yang notabene memiliki kandungan minyak dan gas yang melimpah. Pun halnya yang terjadi di Riau, daerah yang kaya akan minyak, namun bukan menjadi jaminan kemudahan bagi masyarakatnya untuk mengakses pendidikan. Kondisi ironis ini menurutnya terjadi karena sumber-sumber kekayaan alam tersebut diserahkan pengelolaannya kepada asing. Sehingga, keuntungan yang dihasilkan pun dimiliki oleh asing.

Sebagian peserta berpendapat bahwa tambang-tambang emas mestinya dikelola langsung oleh rakyat bukan investor asing, dan sebagai konsekwensinya, Pemda mengeluarkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Sebagian lainnya berpendapat bahwa Pemda harus melakukan moratorium tambang. Setiap pendapat tentu punya dasar pijakannya masing-masing. Tetapi pada intinya kedua pendapat menolak pengelolaan tambang emas oleh perusahaan-perusahaan asing.

Yang mendukung pertambangan rakyat berpijak pada fakta bahwa selama ini perusahaan-perusahaan asing yang melakukan eksploitasi emas di Indonesia tidak memberikan keuntungan bagi negara. Eksploitasi emas yang dilakukan oleh PT. Freeport di Papua dimajukan sebagai contoh, hingga tahun 2010, keuntungan perusahaan asal Amerika itu mencapai Rp.4000 triliun. Indonesia hanya dapatbagian 1%. Fakta lain, massifnya perampasan tanah-tanah masyarakat, pencemaran lingkungan yang berskala besar, serta konflik antar aparat dengan masyarakat, masyarakat dengan perusahaan atau masyarakat dengan masyarakat yang tidak jarang menimbulkan korban jiwa. Sehingga dengan dasar pijakan yang disebutkan, mendesak Pemerintah dan Pemda memutus atau minimal tidak melanjutkan kerjasama/kontrak dengan perusahaan-perusahaan asing.

Lalu apa yang menjadi dasar pijak pendukung moratorium tambang? Dasarnya bahwa selain tambang dinilai tidak banyak membawa manfaat bagi rakyat, juga berpendapat bahwa Indonesia adalah negara agraris, sehingga pembangunan dibidang perkebunan dan holtikultura yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah. Sejauh ini nampaknya kita bisa mahfum dengan dua pandangan diatas.

Menyikapi wacana yang berkembang, Budi Kathiandago berpendapat bahwa pertambangan tetap diperlukan bagi pembangunan, sehingga wacana moratorium kurang tepat untuk dilaksanakan.Ia lebih sepakat dengan wacana pertambangan rakyat, namun dengan tidak mengesampingkan keterlibatan investor. Dan upaya Pemda untuk memadukan antara pertambangan rakyat dengan investor asing menurutnya sudah dilakukansejak pemerintahan Ma’ruf Bantilan sampai pada pemerintahan Saleh Bantilan.Namun, upaya yang dilakukan belum sampai pada hasil yang diharapkan, disebabkan oleh beberapa factor pembatas.Factor pembatas yang dimaksudkan adalah adanya tumpang tindih wilayah konsesi, antara wilayah perusahaan dengan rakyat. Sebagaimana yang terjadi di dusun Janja desa Malomba Kecamatan Dondo. Setelah dilakukan telaah, didapatkan bahwa lokasi penambangan emas di dusun Janja yang dikelola masyarakat, masuk dalam wilayahperusahaan-perusahaan pemegang izin molybdenum,  diwilayah itu juga ada PT. Citra Palu Minerals (CPM) yang izin awalnya adalah emas.Sementara dalam aturan pertambangan, izin pengelolaan mineral yang sama tidak boleh diberikan kepada pihak pengelolah lain dalam suatu blok yang sama. Factor pembatas kedua adalah, sebelumnya Pemda belum memiliki regulasi mengenai tatacara/petunjukdalam memberikan izin tambang kepada rakyat, sehingga menyulitkan langkah Pemda untuk bertindak lebih jauh.

Sebagai penutup catatan, Allah SWT telah menganugerahkan kekayaan alam yang berlimpah di bumi Tolitoli tercinta. Semestinya kekayaan itu dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat, namun harus tetap bijak terhadap lingkungan.Sudah saatnya Pemda mematangkan serta memajukan konsep pertambangan rakyat, daripada sekedar berperan sebagai penonton yang terus menyaksikan sumber daya alam kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusaan asing.

Tolitoli, 17 Juni 2014

Posting Komentar

0 Komentar