Tolitoli, 11/09/2024 – Langit keadilan yang seharusnya tegak kini terbelah. Masyarakat Bajugan, yang berharap akan tercapainya keadilan, kini terperangkap dalam ketidakpastian. Kasus ini bermula dari sebuah laporan warga terhadap Kepala Desa Bajugan, S, yang diduga melakukan tindak pidana asusila terhadap seorang anak di bawah umur. Kejahatan yang tidak hanya merusak harkat dan martabat korban, tetapi juga menorehkan luka mendalam di hati masyarakat Bajugan.
Namun, meski proses hukum sudah berjalan dan putusan Mahkamah Agung (MA) telah menghukum S dengan sembilan tahun penjara, eksekusi terhadap vonis tersebut justru tak kunjung dilaksanakan. Sebuah ironi yang semakin menyakiti, sebab putusan kasasi yang seharusnya menjadi simbol tegaknya hukum malah tak mampu memberikan keadilan yang nyata. Kasus ini pun mengungkapkan adanya celah dan ketidakberesan dalam sistem peradilan, yang berpotensi meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap negara dan sistem hukum itu sendiri.
Awal kasus ini melibatkan sebuah tuduhan yang sangat serius,
yaitu dugaan tindak pidana rudapaksa yang dilakukan oleh seorang pejabat
publik, Kepala Desa S, terhadap anak di bawah umur. Tindak kejahatan yang
memicu gelombang protes dari masyarakat yang menuntut keadilan. Di tingkat
Pengadilan Negeri Tolitoli pada
Februari 2024, S dibebaskan dari segala dakwaan. Keputusan ini tentu saja
mengguncang masyarakat, memunculkan rasa kecewa dan ketidakpuasan yang
mendalam.
Keputusan yang membebaskan
terdakwa ini memicu gelombang protes dari
masyarakat. Tuntutan agar hukum ditegakkan dengan adil menjadi semakin keras,
dan akhirnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Tolitoli
memutuskan untuk mengajukan kasasi. Upaya ini menggambarkan betapa pentingnya
memastikan bahwa keadilan tidak hanya diberikan kepada mereka yang berada di
bawah, tetapi juga kepada masyarakat yang telah percaya bahwa hukum bisa
memberikan perlindungan.
Putusan kasasi yang
dijatuhkan Mahkamah Agung pada Juli
2024 memberikan harapan baru bagi masyarakat Bajugan. Mahkamah Agung memutuskan
untuk menjatuhkan hukuman sembilan tahun penjara terhadap S, sebuah keputusan
yang diharapkan menjadi titik balik dalam pencarian keadilan. Keputusan
tersebut seharusnya menjadi tonggak untuk memulihkan rasa percaya diri
masyarakat terhadap sistem peradilan. Namun, kenyataannya adalah eksekusi
terhadap vonis tersebut belum juga dilaksanakan, dan keadilan yang sudah tampak
di depan mata justru terhenti di ambang pintu.
Kejanggalan yang terjadi
dalam proses eksekusi ini semakin memperburuk keadaan. Apa yang sebenarnya
menghalangi eksekusi vonis kasasi terhadap Kepala Desa S? Adakah faktor-faktor
tertentu yang sengaja menghambat pelaksanaan putusan ini? Masyarakat Bajugan
kini dihantui oleh pertanyaan yang semakin memunculkan ketidakpercayaan
terhadap hukum. Apakah hukum benar-benar bekerja untuk rakyat, ataukah ada
pihak-pihak tertentu yang dengan sengaja menghalangi terlaksananya keputusan
hukum yang sudah inkracht? Apakah ada tangan-tangan yang melindungi S karena
kekuasaan yang dimilikinya? Atau, apakah ada faktor lain yang menyebabkan
eksekusi ditunda tanpa alasan yang jelas?
Kondisi ini memunculkan
keresahan yang semakin dalam di hati masyarakat. Bagi mereka, kasus ini bukan
hanya tentang satu individu, tetapi sebuah simbol dari ketidakmampuan negara
untuk menegakkan hukum secara tegas dan adil. Jika sebuah putusan yang sudah
inkracht dan mengikat secara hukum tidak dapat dieksekusi dengan tepat waktu,
maka bisa dibayangkan betapa besar kerusakan yang terjadi terhadap rasa
keadilan di masyarakat. Seharusnya, eksekusi itu menjadi bukti nyata bahwa
hukum tidak mengenal kekuasaan atau kedudukan, dan setiap orang sama di hadapan
hukum. Namun, kenyataan yang ada justru membuat masyarakat merasa
terpinggirkan, seolah-olah hukum hanya berlaku bagi mereka yang berkuasa.
Lembaga Bantuan Hukum
Progresif Tolitoli (LBHP Tolitoli) dengan tegas mendesak Kejaksaan Negeri
Tolitoli untuk segera melaksanakan eksekusi putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap
Kepala Desa Bajugan. Penundaan eksekusi ini menimbulkan ketidakpahaman di
tengah masyarakat, karena keadilan yang tertunda adalah keadilan yang
kehilangan maknanya. Eksekusi putusan kasasi bukan hanya sekedar kewajiban hukum, tetapi juga kewajiban
moral untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat dan korban, serta memastikan
bahwa hukum tidak dapat dipengaruhi oleh kepentingan tertentu atau dibeli oleh
siapa pun.
Tuntutan untuk segera
mengeksekusi vonis ini adalah sebuah panggilan untuk memulihkan kepercayaan
publik terhadap sistem peradilan. Ini adalah ujian besar bagi Kejaksaan Negeri
Tolitoli dan seluruh sistem peradilan di Indonesia, apakah mereka akan
menegakkan hukum dengan penuh integritas dan keberanian, ataukah mereka akan
memilih untuk membiarkan ketidakadilan berlarut-larut. Masyarakat Bajugan, yang
telah lama menantikan keadilan, kini menunggu dengan harap-harap cemas,
berharap bahwa eksekusi yang telah dinanti-nanti itu akhirnya akan terlaksana,
dan mereka akan mendapatkan kepastian hukum yang layak mereka terima.
Salah satu sisi gelap
dari ketidakmampuan menegakkan hukum adalah semakin berkurangnya rasa percaya
masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga peradilan. Sebuah
hukum yang tidak ditegakkan tidak hanya merugikan korban, tetapi juga merusak
tatanan sosial yang selama ini telah dibangun dengan penuh usaha. Masyarakat
akan merasa bahwa mereka tidak lagi memiliki perlindungan, dan dalam jangka
panjang, ini dapat berdampak buruk pada rasa aman dan kepercayaan terhadap
sistem hukum negara.
Sehingga, saat ini adalah saatnya bagi Kejaksaan Negeri
Tolitoli untuk menunjukkan bahwa mereka dapat mengembalikan kepercayaan publik,
dan bahwa hukum di Indonesia masih dapat diandalkan sebagai alat untuk
menegakkan keadilan. Eksekusi putusan ini harus menjadi bukti bahwa keadilan
masih hidup, bahwa hukum tidak mengenal kompromi, dan bahwa setiap orang, tanpa
memandang status atau kedudukan, berhak mendapatkan perlindungan dan keadilan
yang setara di hadapan hukum.
Inilah saatnya untuk
menunjukkan bahwa keadilan bukanlah kata-kata kosong, melainkan sebuah tindakan
nyata. Saatnya untuk membuktikan bahwa hukum adalah penjaga yang adil bagi
semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Eksekusi terhadap Kepala Desa
Bajugan ini adalah simbol dari keberanian hukum untuk melawan ketidakadilan dan
menunjukkan bahwa hukum tetap berdiri tegak, bahkan di tengah godaan kekuasaan.
0 Komentar